Monday, March 31, 2008

Mengenal Kaligrafi Jepang

KALIGRAFI bukan hanya milik tulisan Arab atau juga China. Di Jepang, seni menulis indah juga sangat digemari, bahkan menjadi salah satu budaya yang sangat cukup berpengaruh.

Di berbagai belahan dunia, kaligrafi Jepang juga dikenal, dipelajari, dan dijadikan ajang pembelajaran, terutama di bidang seni. Sekelebat kaligrafi Jepang itu tersisa dari pergelaran Japanoramayang baru saja diselenggarakan Plaza Atrium pekan lalu. Di pergelaran yang menampilkan berbagai seni dan budaya Jepang itu, kaligrafi dijadikan salah satu suguhan utama.

Bukti bahwa kaligrafi Jepang sangat digemari adalah banyaknya peserta workshopyang digelar di sela-sela Japanorama. Yuka, salah satu peserta workshop,mengatakan bahwa kaligrafi Jepang sangat menarik. Tak hanya dari seni menggoreskan kuas di atas kertasnya, tetapi juga makna yang terkandung. ”Sudah lama saya ingin belajar kaligrafi Jepang.

Kebetulan ada acara ini, saya menyempatkan diri untuk datang. Siapa tahu dari pengalaman ini giliran saya yang membuat workshop,” kata mahasiswa Universitas Dr Moestopo itu sambil bercanda. Dalam workshopyang dilakukan selama dua jam itu, Rubaya, sang instruktur, menjelaskan tata cara berkaligrafi Jepang.

Kaligrafi Jepang biasanya digunakan untuk hiasan dinding, awalnya hanya karena keindahan tulisan. Lama-lama ada penulisan tentang filosofi Jepang atau China sehingga ada kata-kata mutiara yang ditulis dengan kaligrafi. ”Tata cara penulisan kaligrafi Jepang dengan huruf Jepang biasa itu jauh berbeda. Perbedaan itu terutama terletak di goresannya. Harus menggunakan kuas dan di kertas khusus,” kata Rubaya.

Alat-alat yang dipakai dalam kaligrafi Jepang terdiri dari lima yang utama. Kuas (fudee), tinta cair, kertas (han shi), pemberat kertas, dan tilam (shitajiki). Tintanya biasa disebut sumi, terbuat dari cairan arang. Menggoreskannya menggunakan kuas khusus yang sudah dibasahi dengan air dan diletakkan di sebuah batu khusus. ”Ini untuk menjaga konsistensi basah yang diserap kuas agar hasilnya maksimal,” kata Rubaya.

Kaligrafi Jepang hanya dituliskan dengan tinta hitam. Namun, beberapa orang yang memakai aliran kaligrafi modern sudah memakai berbagai warna. Kalau untuk guru, biasa memakai tinta oranye untuk mengoreksi murid-murid dan mengajarkan tata cara berkaligrafi Jepang yang benar. Rubaya sendiri belajar secara autodidak sejak 1965 hingga pertengahan 2000.

Setelah itu, pada 2002 sampai sekarang dirinya mengaku baru benar-benar belajar di meguro sensei. ”Sekarang saya hanya akan menuliskan nama pengunjung dalam kaligrafi Jepang jika saya diundang untuk sebuah event,” ujarnya. Rubaya sangat menyukai kaligrafi Jepang karena seninya. Awalnya kaligrafi Jepang dia lihat di toko-toko.

Lamakelamaan Rubaya ingin meniru dan mencoba menulis kaligrafi itu. Karena sering mencoba, dia akhirnya punya cara menulis kanji sendiri. ”Tidak sembarangan orang bisa mempunyai gaya sendiri. Bahkan, ketika saya membandingkan dengan yang ada di buku Jepang, ternyata gayanya sama,” ujarnya bangga.

Dari sini Rubaya lantas menjelaskan lebih detail tentang kaligrafi Jepang. Menurutnya, ada empat syarat penulisan kaligrafi Jepang. Tipis-tebal, center, balance, irama (dari awal sampai akhir, goresan tidak terputus). Shodoatau kaligrafi Jepang ternyata juga mempunyai tiga jenis. Kaisho, berarti kaligrafi harus rapi atau bagus.

Tidak boleh ada sambungan, tekanan, dan tenaganya harus jelas tanpa patah. Jenis yang kedua adalah Gyosho, yang berarti boleh sambung. Terakhir, Shosho, yaitu kaligrafi yang cara penulisannya abstrak, semacam tulisan dokter. ”Gaya ini, orang Jepang sendiri belum tentu bisa membacanya,” beber Rubaya.

Di luar ketiga itu masih ada cara penulisan lain yang disebut Reisho, yakni seni tulisan di batu pahat. Selain memberikan workshop, dalam acara itu Rubaya juga menawarkan beberapa kaligrafi Jepang yang dituliskan di atas kertas atau kain

Wednesday, November 14, 2007

MENGHINDARKAN KEGEMUKAN SAAT NATAL


Masalah kegemukan selalu dikaitkan pada keturunan. Padahal, kegemukan lebih sering diakibatkan oleh kebiasaan makan yang kurang sehat dan kurang berolahraga. Delapan kiat sederhana berikut mudah-mudahan berguna untuk mengatasinya.
Menurut F.G. Winarno, ilmuwan senior dari IPB, menjaga beratbadan yang sehat seharusnya sudah dimulai sejak bayi lahir. Bayi harus dijaga agar tidak terlalu gemuk.


Bayi dan anak-anak yang pertumbuhannya lebih dipercayakan kepada pembantu biasanya mengalami pertumbuhan terlalu cepat, salah satu di antaranya adalah terlalu gemuk. Tragisnya, banyak ibu yang justru merasa bahagia melihat anaknya endut sekali. Padahal, anak-anak yang terlalu gemuk akan memiliki sel lemak yang berlipat ganda sejak bayi. Jumlah sel lemak tersebut akan dipertahankan sampai tua. Bila kelak dewasa dan makan terlalu banyak, sel-sel tersebut mudah mengembang. Badan mudah menjadi gemuk dan kelak dapat berkembang menjadi obesitas.

Problem Nasional

Di Amerika Serikat (AS), penanggulangan dan pengobatan terhadap gejala obesitas ternyata sangat sulit dilakukan. Kadar kegagalannya sekitar 90-95 persen. Padahal, hasil penelitian yang dilakukan National Obesity Forum menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian psikologi, anak-anak yang kegemukan memiliki kecenderungan angka lebih rendah terhadap kebahagiaan, kepuasan, dan kepercayaan diri dibandingkan dengan anak yang sehat dan langsing.

Tak seperti di Indonesia yang belum menjadi masalah nasional, para aktivis kesehatan di AS
mengampanyekan agar segera dilakukan tindakan nyata untuk mengatasi peningkatan kasus obesitas atau kegemukan. Apalagi setelah muncul laporan bahwa kondisi kegemukan di dunia telah mencapai tingkat yang membahayakan.

Dalam data National Obesity Forum disebutkan bahwa kegemukan saat ini menyumbangkan hingga 30.000 kematian per tahun, demikian pemberitaan situs internet Gloria Cyber Ministries. Ian Campbell, ketua National Obesity Forum, mengatakan, "Kegemukan adalah salah satu masalah besar dan banyak dokter yang enggan untuk menyisihkan waktu dan energi mereka untuk mengendalikan angka kegemukan ini."

Kata Campbell, ada banyak alasan untuk masalah ini. Misalnya, banyak dokter yang belum menerima atau mengerti bahwa kegemukan termasuk juga salah satu penyakit serius. Kasus kegemukan juga menjadi masalah besar terutama pada anak-anak di negara yang ekonominya sudah maju atau berkembang. Di Singapura misalnya, 13 persen anak-anak usia sekolah (6-12 tahun) mengalami kegemukan atau obesitas. Keadaan yang sama terjadi di Malaysia, Hong Kong, dan juga dialami masyarakat Indonesia di daerah perkotaan yang makmur.

Jika langkah-langkah nyata untuk mengatasi kegemukan itu tak dilakukan, diperkirakan satu dari lima pria dan sekitar seperempat dari seluruh wanita yang ada dapat mengalami kegemukan dalam tiga tahun mendatang. Prof. Philip James, Ketua The International Obesity TaskForce, mengatakan hal paling penting adalah mengatasi kegemukan di usia anak-anak dengan segera.
Memicu Osteoporosis
David Ludwig dari rumah sakit anak-anak di Boston, seperti dikutip Reuters, menemukan bahwa 57 persen anak-anak mengonsumsi minuman ringan di hampir setiap hidangan. Dampaknya, mereka menjadi kekurangan kalsium.

Suatu penelitian yang diterbitkan pada Februari 2001 misalnya, menemukan anak-anak perempuan yang meminum banyak soda akan kekurangan kalsium. Dampaknya, mereka akan mengalami osteoporosis di masa tua. Untuk menghindarkan diri dari kecenderungan menjadi gemuk perlu diingat bahwa lemak di piring kita sebagian besar akan disimpan menjadi lemak di dalam tubuh. Dengan demikian, tubuh dapat menjadi cepat gemuk.

Berikut beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk menghindari kegemukan:

1. Jangan yang digoreng
Masaklah mi dalam air, jangan digoreng. Begitu juga dengan nasi. Sajikan nasi yang ditanak/dikukus, jangan yang digoreng. Memilih daging juga lebih baik yang dipanggang.

2. Kunyah perlahan
Kunyahlah makanan secara perlahan-lahan dan cobalah menikmati makanan sewaktu berada dalam mulut. Dengan demikian akan menyebabkan lambung cepat kenyang dan membantu mencegah makan terlalu banyak. Nasihat lama yang masih boleh diikuti, kunyahlah makanan setidaknya 32 kali sebelum menelannya.

3. Ambil sedikit
Ambillah makanan pertama sedikit mungkin ke dalam piring Anda. Tambah sedikit demi sedikit bila masih lapar. Cara ini dilakukan agar Anda tidak merasa terpaksa harus menghabiskan makanan yang sudah berada di piring.

4. Tinggalkan meja setelah selesai
Diimbau untuk segera meninggalkan meja makan setelah selesai dan jangan dilanjutkan dengan
mengobrol. Ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari iseng atau keinginan ngemil dan mengambil makanan dari sana-sini sehingga tak terasa perut menjadi terlalu kenyang.

5. Hindari kadar gula dan lemak tinggi
Hindari makanan berkadar gula dan lemak tinggi seperti cake cokelat, kue-kue (pastries), lemak hewan, mentega, fullcream milk, jeroan, dan lain-lain.

6. Konsumsi banyak buah
Mengonsumsi banyak buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan karbohidrat dapat menjaga jumlah kalori yang masuk agar sesuai dengan kebutuhan.

7. Waspadai minuman bersoda
Anak-anak yang mengonsumsi minuman ringan bergula berisiko tinggi mengalami kegemukan.
Laporan para peneliti Amerika yang diterbitkan oleh The British Medical Journal The Lancet, remaja AS perlu segera mengurangi minuman bersoda dan junk food yang berisiko mengganggu kesehatan. "Kami menemukan selalu ada minuman ringan di setiap hidangan tambahan, dan risiko kegemukan meningkat kira-kira 50 persen," kata Ludwig.

8. Kurangi menonton televisi
"Kegemukan pada anak-anak diakibatkan oleh banyak faktor. Tidak ditekankan hanya pada satu faktor, yaitu minuman ringan dan masalah gizi, melainkan juga kebiasaan seperti menonton televisi,"ungkap Ludwig. Membanjirnya acara di televisi, termasuk film-film kartun dan telenovela, membuat anak-anak dan ibu rumah tangga semakin lama duduk di depan televisi sambil ngemil. Keadaan demikian mendorong tubuh kurang gerak dan mudah menjadi gemuk. Dari 4.771 wanita yang diteliti di Singapura, mereka yang menonton televisi tiga sampai empat jam sehari berpeluang dua kali lipat menjadi gemuk dibanding kelompok yang jarang menonton televisi.

Friday, November 2, 2007

Safest SUVs


The Ford Excursion, the now-discontinued gas-guzzling behemoth that was one of the market's biggest and heaviest sport utility vehicles, has been haunted not only by hordes of environmentalists but also by a driver death rate several times higher than many smaller SUV models.

According to federal fatality data, adjusted for registered vehicle years, the Excursion had more than triple the fatality rate of the smaller Expedition and more than double the fatality rate of the midsize Explorer.

Bigger, it seems, is not always safer.
In Pictures: Fifteen Safest SUVs

Russ Rader, spokesman for the Insurance Institute for Highway Safety (IIHS), an organization representing the interests of the insurance industry, agrees.

To shield passengers, "you don't have to buy an enormous vehicle," he says. "In this era of high gas prices, consumers should know they don't need a tank to get good protection in crashes."

Winning Wheels
When shopping for an SUV, Ron DeFore, spokesman for the SUVOA, a Washington, D.C. group representing SUV, pickup and van owners, says you should take a look at your needs before deciding on the size of vehicle. Do your homework and you'll find in some cases there is little difference in safety between a mid-size and full-size SUV.
ot planning on off-roading or towing? Then "you should probably concentrate on car-based SUVs," advises Gabriel Shenhar, program leader for Consumer Reports' Auto Test Division, who said these so-called crossovers, such as the Honda CR-V, Toyota Highlander, Saturn Outlook, and even BMW X5, will do just fine for most SUV shoppers. They offer ease of seating access, top-notch handling, and roomy interiors.

Still, safety counts. And no matter what type of vehicle, the most useful information for assessing safety is in the crash-test ratings, according to Rader.

"SUVs have improved dramatically in terms of how they perform in crash tests," he says. As recently as several years ago, he explains, some of the top-selling SUVs ranked near the bottom of their size classes in crash-test safety. Since then, "we've seen a big improvement."

In the latest analysis by make and model, the IIHS found many SUV models are among the vehicles with the lowest fatality rates on the road. According to Rader, that wasn't the case just five or 10 years ago.

"One thing we know is improving the safety of SUVs is electronic stability control," he says. "ESC is the most important safety feature most people have never heard of."

According to the IIHS, electronic stability control is now standard on 87% of all new SUVs, and it can reduce the risk of a rollover by a staggering 85%. What further increases the urgency and importance of ESC, says Rader, is that a rollover "is a particularly deadly type of crash."

That's because "SUVs, by design, have high ground clearance, which increases their center of gravity and therefore their propensity to roll over," says Michael Dulberger, president of the auto-safety advocacy group Informed for Life. "With the very large number of SUVs on the road today, this has resulted in rollovers now being responsible for one-third of all traffic fatalities."

Looking back at the Excursion and its unusually high fatality rate, Rader says it correlates to the Excursion's relatively high rollover risk. Sure enough, data from the organization verifies the bulk of the model's fatalities were in single-vehicle accidents, not multi-vehicle accidents, and many of them involved rollover.

Top Tips
To choose the safest model, Rader recommends starting by looking for vehicles with the top rating in all crash tests, plus those that incorporate ESC.

"Now we have more than a dozen SUVs that have the Institute's highest rating and have electronic stability control. They're not just expensive luxury vehicles," he says, citing examples like the Honda CR-V, Ford Edge, Subaru Forester and Hyundai Santa Fe.

Side airbags are another major safety device that's not yet on most vehicles but has been shown to make a significant difference in fatality rates.

"Side airbags aren't required yet, and unfortunately, they're less common on SUVs than on cars," says Rader. Of new cars, 71% have some combination of side bags that protect both the head and chest--the kind all the safety experts we spoke with recommended--while that's the case for only 48% of SUVs.

"The better vehicles are going to have side and curtain airbags, and you'll get three-point belts in the third-row seat," says Shenhar, who added that head restraints with whiplash protection are another feature that separates the safest SUVs from the rest of the pack.

Another especially important consideration for SUVs, according to Shenhar, is accident avoidance, including the effectiveness of the braking system, how nimbly the vehicle can be steered around obstacles in an abrupt lane-change maneuver, and how secure and forgiving the handling is.

Rear visibility can also be a big safety issue for SUVs, according to Shenhar, whether you have small children around or not.

"The rearview camera is so beneficial," he says, adding that on some models, like the Toyota Highlander and Mazda CX-9, you can get a camera system without opting for the costly navigation system option.

To the relief of those who plan to use their SUV for serious hauling, higher load and towing ratings don't necessarily correspond with reduced safety. In fact, one of our Safest SUVs, the Mercedes-Benz M-Class, can tow up to 7,200 pounds.

But shoppers who are considering an SUV because they plan to tow can no longer assume towing ability in an SUV.

"We're seeing this all across the country," says DeFore. "People get a crossover that looks like an SUV, then they go to an RV lot looking to pull a camper or trailer, and they're told all they can tow is a small boat--or that the manufacturer doesn't recommend towing at all."
Behind The Numbers
To find the safest sport utility vehicles, we followed the advice of our safety experts and looked for top ratings in the major crash tests, plus available electronic stability control.

First we compiled a list of SUVs that have earned top five-star rankings for both driver and passenger in National Highway Transportation and Safety Administration crash tests for frontal impact and top five-star rankings for both the front and rear seat in side impact tests.

Of those all-stars, we looked at IIHS crash test results for overall frontal offset, side, and rear protection, and eliminated any models that scored lower than the top "Good" rating. We also introduced several models that received across-the-board "Good" ratings for all three IIHS categories but received a 4-star rating in only one instance of NHTSA results.

Next, we weeded out any vehicles that don't offer electronic stability control as either standard or optional. Then we considered the importance of braking, maneuverability, and emergency handling in avoiding accidents by consulting Consumer Reports accident avoidance ratings and making sure they were average or better.

Finally, we re-ordered and ranked the vehicles remaining based on the amount of positive crash-test info available, accident avoidance scores, and any standout safety equipment.

Jangan Biarkan Stresmu Jadi Depresi!

Bingung dengan pekerjaan se-abrek, di rumah dimarahi terus, kehidupan sosial tidak seimbang, maupun pacar selingkuh, memang bisa bikin stres. Kalau terus-menerus seperti ini, bisa-bisa orang stres akan menjadi penderita depresi yang bisa gila bahkan memutuskan suicide.. hii ngeri..

Depresi lebih sering diartikan dengan stres yang berkepanjangan, tapi jangan salah ada juga stres yang tidak selamanya berakhir dengan depresi. Menjelaskan hal ini, ahli psikologi Vera Itabiliana mengungkapkan bahwa depresi ada karena perasaan sedih yang mendalam. Tapi kadang peristiwa sedih yang dialami tidak sebanding dengan perasaan sedih tersebut, dan terus-menerus dirasakan sampai melebihi waktu sebenarnya.

Secara umum gejala depresi tampak pada tiga bagian, yaitu gejala fisik, mental, dan sosial. Dari fisik, orang depresi biasanya lebih malas dari kehidupan sehari-hari, susah tidur, malas makan, pikiran kosong, kehilangan motivasi, cepat capek, bahkan gampang sakit.

Sedangkan dari segi mental, orang depresi lebih cepat marah, sensitif, merasa useless, tidak percaya diri, sering mendramatisir rasa kecewa, dan sering ketakutan akan karma yang akan menimpa mereka karena kesalahan yang diperbuat. Untuk urusan sosial, kebanyakan orang depresi akan sering menghindar saat-saat menyenangkan, menjauh dari realistis, malu bertemu orang lain, uring-uringan tanpa alasan, serta tanpa sadar jadi orang yang menyebalkan.

Dan untuk mengatasi rasa depresi yang merugikan diri sendiri yang membawa pengaruh ke orang lain ini, disarankan untuk melakukan berbagai terapi. Misalnya saja 'Psikoterapi', yaitu lebih menerima perhatian dan saran dari orang lain agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dalam hidup. Tentu saja hal ini dilakukan dengan cara bertahap untuk bisa menerima tanggung jawab dan tekanan hidup yang dialami. Ada juga 'Terapi Kognitif', yang dilakukan dengan cara mengubah cara pandang negatif dan rasa putus asa.

Sedangkan untuk penderita depresi berat, bisa diterapkan 'Terapi Elektrokonvulsif', yaitu dengan cara memberikan kejutan listrik untuk merangsang kinerja otak yang beku, biasanya sih untuk penderita yang ingin suicide.

Selain terapi, penggunaan obat penenang juga ada baiknya, apalagi untuk orang-orang yang memiliki kepribadian tertutup dan sulit berkomunikasi dengan orang lain. Yang penting, kita harus menjauhkan diri dari godaan-godaan untuk berpikir pendek. Seperti kata pepatah, We dont know how life bring us later, just hold on..