KALIGRAFI bukan hanya milik tulisan Arab atau juga China. Di Jepang, seni menulis indah juga sangat digemari, bahkan menjadi salah satu budaya yang sangat cukup berpengaruh.
Di berbagai belahan dunia, kaligrafi Jepang juga dikenal, dipelajari, dan dijadikan ajang pembelajaran, terutama di bidang seni. Sekelebat kaligrafi Jepang itu tersisa dari pergelaran Japanoramayang baru saja diselenggarakan Plaza Atrium pekan lalu. Di pergelaran yang menampilkan berbagai seni dan budaya Jepang itu, kaligrafi dijadikan salah satu suguhan utama.
Bukti bahwa kaligrafi Jepang sangat digemari adalah banyaknya peserta workshopyang digelar di sela-sela Japanorama. Yuka, salah satu peserta workshop,mengatakan bahwa kaligrafi Jepang sangat menarik. Tak hanya dari seni menggoreskan kuas di atas kertasnya, tetapi juga makna yang terkandung. ”Sudah lama saya ingin belajar kaligrafi Jepang.
Kebetulan ada acara ini, saya menyempatkan diri untuk datang. Siapa tahu dari pengalaman ini giliran saya yang membuat workshop,” kata mahasiswa Universitas Dr Moestopo itu sambil bercanda. Dalam workshopyang dilakukan selama dua jam itu, Rubaya, sang instruktur, menjelaskan tata cara berkaligrafi Jepang.
Kaligrafi Jepang biasanya digunakan untuk hiasan dinding, awalnya hanya karena keindahan tulisan. Lama-lama ada penulisan tentang filosofi Jepang atau China sehingga ada kata-kata mutiara yang ditulis dengan kaligrafi. ”Tata cara penulisan kaligrafi Jepang dengan huruf Jepang biasa itu jauh berbeda. Perbedaan itu terutama terletak di goresannya. Harus menggunakan kuas dan di kertas khusus,” kata Rubaya.
Alat-alat yang dipakai dalam kaligrafi Jepang terdiri dari lima yang utama. Kuas (fudee), tinta cair, kertas (han shi), pemberat kertas, dan tilam (shitajiki). Tintanya biasa disebut sumi, terbuat dari cairan arang. Menggoreskannya menggunakan kuas khusus yang sudah dibasahi dengan air dan diletakkan di sebuah batu khusus. ”Ini untuk menjaga konsistensi basah yang diserap kuas agar hasilnya maksimal,” kata Rubaya.
Kaligrafi Jepang hanya dituliskan dengan tinta hitam. Namun, beberapa orang yang memakai aliran kaligrafi modern sudah memakai berbagai warna. Kalau untuk guru, biasa memakai tinta oranye untuk mengoreksi murid-murid dan mengajarkan tata cara berkaligrafi Jepang yang benar. Rubaya sendiri belajar secara autodidak sejak 1965 hingga pertengahan 2000.
Setelah itu, pada 2002 sampai sekarang dirinya mengaku baru benar-benar belajar di meguro sensei. ”Sekarang saya hanya akan menuliskan nama pengunjung dalam kaligrafi Jepang jika saya diundang untuk sebuah event,” ujarnya. Rubaya sangat menyukai kaligrafi Jepang karena seninya. Awalnya kaligrafi Jepang dia lihat di toko-toko.
Lamakelamaan Rubaya ingin meniru dan mencoba menulis kaligrafi itu. Karena sering mencoba, dia akhirnya punya cara menulis kanji sendiri. ”Tidak sembarangan orang bisa mempunyai gaya sendiri. Bahkan, ketika saya membandingkan dengan yang ada di buku Jepang, ternyata gayanya sama,” ujarnya bangga.
Dari sini Rubaya lantas menjelaskan lebih detail tentang kaligrafi Jepang. Menurutnya, ada empat syarat penulisan kaligrafi Jepang. Tipis-tebal, center, balance, irama (dari awal sampai akhir, goresan tidak terputus). Shodoatau kaligrafi Jepang ternyata juga mempunyai tiga jenis. Kaisho, berarti kaligrafi harus rapi atau bagus.
Tidak boleh ada sambungan, tekanan, dan tenaganya harus jelas tanpa patah. Jenis yang kedua adalah Gyosho, yang berarti boleh sambung. Terakhir, Shosho, yaitu kaligrafi yang cara penulisannya abstrak, semacam tulisan dokter. ”Gaya ini, orang Jepang sendiri belum tentu bisa membacanya,” beber Rubaya.
Di luar ketiga itu masih ada cara penulisan lain yang disebut Reisho, yakni seni tulisan di batu pahat. Selain memberikan workshop, dalam acara itu Rubaya juga menawarkan beberapa kaligrafi Jepang yang dituliskan di atas kertas atau kain
Monday, March 31, 2008
Mengenal Kaligrafi Jepang
Diposting oleh KELUARGA BESAR MAHASISWA SIBORONGBORONG di 8:53 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment